TeraNews Bisnis – Presiden Amerika Serikat Donald Trump, melalui United States Trade Representative (USTR), baru-baru ini merilis daftar mengejutkan: 58 negara yang dianggapnya menerapkan kebijakan penghambat ekspor AS. Daftar ini, yang terungkap dalam Laporan Estimasi Perdagangan Nasional Tahunan USTR, menimbulkan kehebohan global. Indonesia pun masuk dalam daftar tersebut.
Jamieson Greer, Perwakilan Dagang AS, menyatakan bahwa belum pernah ada Presiden AS yang menyadari begitu luasnya hambatan perdagangan AS seperti yang disadari Trump. Greer menegaskan komitmen pemerintahan Trump untuk mengatasi praktik-praktik yang dianggap tidak adil ini. "Pemerintahan ini bekerja keras untuk mengatasi praktik tidak adil ini, membantu memulihkan keadilan dan mengutamakan pebisnis AS yang bekerja keras di pasar global," tegas Greer, seperti dikutip Teranews.id dari Reuters.

Laporan tersebut mencatat berbagai kebijakan yang dianggap menghambat perdagangan AS, mulai dari tarif rata-rata yang tinggi hingga hambatan non-tarif seperti regulasi keamanan pangan, syarat energi terbarukan, dan birokrasi perizinan yang rumit. Dalam kasus Indonesia, regulasi impor, pajak, lisensi impor, aturan terkait produk pertanian, bea cukai, akses pasar industri farmasi, dan bahkan aturan impor barang halal, dinilai berpotensi menghambat perdagangan dengan AS.
Daftar 58 negara yang dianggap menerapkan kebijakan penghambat ekspor AS tersebut antara lain: Aljazair, Angola, Argentina, Australia, Bangladesh, Bolivia, Brazil, Brunei Darussalam, Kamboja, Kanada, Chile, China, Kolombia, Kosta Rika, Pantai Gading, Republik Dominika, Ekuador, Mesir, El Salvador, Ethiopia, Ghana, Guatemala, Honduras, Hong Kong, India, Indonesia, Israel, Jepang, Yordania, Kenya, Korea Selatan, Laos, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Panama, Paraguay, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Afrika Selatan, Swiss, Taiwan, Thailand, Tunisia, Turki, Ukraina, Inggris, Uruguay, Vietnam, Liga Arab, Uni Eropa, dan Gulf Cooperation Council (GCC). Daftar lengkap ini menimbulkan pertanyaan besar tentang strategi perdagangan global AS di masa mendatang.